Pada tanggal 22 Maret 2025, seluruh karyawan Santo Antonius Jakarta berkumpul di Aula Santo Antonius lantai 4 untuk menghadiri acara Dehonian Value yang mengusung tema Berkarya dengan Spiritualitas Hati. Acara ini bertujuan untuk menanamkan semangat bekerja dengan hati, mengembangkan sikap kasih, pengabdian, dan pelayanan dalam dunia pendidikan.
Acara dimulai dengan sambutan dari Ketua KOY yaitu Romo Igantius Trisna Setiadi, SCJ yang menekankan pentingnya nilai-nilai spiritualitas dalam dunia pendidikan. Sambutan tersebut mengingatkan bahwa pendidikan tidak hanya sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan membangun budaya kasih di sekolah. Setelah sambutan, peserta diajak untuk mengikuti sesi ice breaking yang bertujuan untuk mencairkan suasana.
Sesi pertama acara ini dipimpin oleh Romo Fransiskus Xaverius Marmidi, SCJ, yang membawakan materi tentang Spiritualitas Hati sebagai Landasan Karya Pendidikan. Romo Marmidi menyoroti krisis hati dan kasih yang terjadi di masyarakat modern.
Beberapa poin utama yang diangkat dalam sesi ini adalah meningkatnya krisis kesehatan mental, menurunnya empati dalam masyarakat, meningkatnya polarisasi dan konflik sosial, serta eksploitasi dan ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain.
Krisis ini juga tercermin dalam dunia pendidikan formal, di mana kasus perundungan semakin meningkat, rasa empati dan kasih di kalangan siswa menipis, serta kurangnya pendidikan emosional dan moral. Guru dan tenaga kependidikan sering kali terbebani dengan tekanan kerja yang tinggi, sementara kompetisi akademik yang berlebihan mengikis nilai kebersamaan.
Romo Marmidi menegaskan bahwa meskipun dunia mengalami krisis hati dan kasih, bukan berarti perubahan tidak mungkin terjadi. Pemulihan empati melalui pendidikan emosional, membangun hubungan autentik, dan menanamkan kembali nilai-nilai kasih merupakan solusi yang dapat diterapkan.
Sekolah memiliki peran penting dalam menanamkan pendidikan karakter, membangun budaya saling peduli, serta mengajarkan pentingnya empati dalam kehidupan sehari-hari. Guru dan tenaga kependidikan juga perlu mendapatkan dukungan emosional agar dapat mendidik dengan penuh kasih.
Dalam sesi berikutnya, peserta diajak untuk mendalami Spiritualitas Hati sebagai Pemulihan. Romo Marmidi menjelaskan bahwa spiritualitas hati bersifat batiniah, mencari makna hidup, bersifat transendental, serta mempengaruhi tindakan seseorang.
Spiritualitas hati merujuk pada cara hidup yang berakar dalam kasih Allah dan terwujud dalam sikap hati yang penuh kelembutan, belas kasih, serta kesetiaan kepada Tuhan dan sesama. Hal ini ditekankan dalam dunia pendidikan agar guru dan tenaga kependidikan dapat melayani dengan ketulusan.
Implementasi spiritualitas hati dalam dunia pendidikan melibatkan tiga aspek utama, yaitu guru yang mengajar dengan hati, tenaga kependidikan yang melayani dengan hati, serta lingkungan sekolah yang membangun budaya kasih dan kepedulian sosial.
Dalam sesi kedua, Romo Marmidi membahas mengenai Transformasi Diri dan Komunitas melalui Spiritualitas Hati. Beliau mengangkat dasar ajaran Gereja Katolik tentang pendidikan, di mana pendidikan dianggap sebagai panggilan dan perutusan, serta sebagai sarana evangelisasi.
Hati Yesus dijadikan sebagai model pendidikan, di mana kesabaran, kerendahan hati, dan kasih menjadi nilai utama dalam proses pembelajaran. Para pendidik diajak untuk menghadapi tantangan dengan iman dan pengharapan serta membangun relasi yang penuh kasih.
Membangun budaya kasih di sekolah dapat diwujudkan melalui komunikasi yang penuh empati antara rekan kerja dan siswa, kolaborasi yang dilandasi semangat pelayanan, serta menciptakan lingkungan sekolah yang penuh kasih dan hormat.
Namun, tantangan dalam mewujudkan budaya hati kasih tetap ada, seperti kurangnya kesadaran akan pentingnya kasih, lingkungan yang kurang mendukung, serta minimnya keteladanan. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan adalah pendidikan karakter yang konsisten, kebijakan sekolah yang mendorong interaksi positif, serta menumbuhkan keteladanan dalam berbicara, bertindak, dan bersikap.
Sebagai penutup, Romo Marmidi menyampaikan bahwa spiritualitas hati dalam karya pendidikan adalah panggilan untuk mendidik dengan hati yang selaras dengan Hati Yesus. Guru dan tenaga kependidikan tidak hanya bertugas mencerdaskan, tetapi juga membentuk karakter dan iman peserta didik.
Dengan meneladani kasih, kesabaran, dan kerendahan hati Yesus, pendidikan dapat menjadi sarana evangelisasi yang membawa terang Kristus ke dalam dunia. Sebagaimana yang tertulis dalam Amsal 22:6, "Didiklah anak itu menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu.". Acara ditutup dengan sesi foto bersama.